LAMA TAMBANG MIGAS PENGARUHI LINGKUNGAN WARGA WONOCOLO
Bojonegoro
memiliki objek wisata yang menjadikan perbedaan tersendiri dari daerah-daerah lain yang ada di wilayah Jawa
Timur ataupun Indonesia, bahkan kalau penulis tidak segan-segan hingga
Internasional. Tempat itu terletak di
desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan yang akhir-akhir ini telah buming ditelinga pecinta
wisata migas (Petroleum Geo Heritage Teksas Wonocolo).
Semenjak
diresmikan oleh Bupati Suyoto pada 27 mei 2016 bulan lalu, kini semakin banyak
pengujung yang mendatangi kawasan objek vital Nasional tersebut. Termasuk si
penulis beberapa hari lalu yang melakukan observasi untuk melengkapi
tulisannya.
“Saya
memilih tempat ini, lantaran sesuai dengan kegiatannya yang berdampak terhadap
lingkungan sekitar tambang migas di desa Wonocolo,” ungkap penulis.
Pengaruh
yang melalui pencemaran udara terasa saat kita mulai masuk di area wisata
Teksas Wonocolo, dengan bau yang menyengat masuk lewat hidung dan membuat
kepala akan terasa pusing. Setelah ditelusuri, bau tersebut dihasilkan dari
penyulingan lantung yang di masak dalam tungku tradisional (tanah liat).
Selain
itu, pengaruh yang disebabkan oleh kegiatan penambang migas ini menyebabkan
rusaknya struktur tanah, sehingga dampak itu menimbulkan kematian pada tumbuhan
sekitar tambang. Dampak tersebut juga dibenarkan Ibu Elsa D. Agustina selaku
kepala Badan Lingkungan Hidup di Bojonegoro. “Diperkirakan hingga ratusan
tahun, tanah tersebut tidak dapat ditanami sejumlah tanaman, dikarenakan limbah
yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik oleh pelaku tambang,” kata Ibu
Elsa setelah dimintai pendapatnya
menegenai kegiatan warga penambang desa wonocolo terhadap dampak bagi
lingkungan sekitar.
Disamping
bahanyanya dampak bagi tanah, Pemerintah Bojonegoro melalui BLH sudah
mengantisipasi limbah yang dihasilkan. “Padahal sudah diberikan Instalasi
Pengelolaan Air Limbah (IPAL) untuk dapat mengelolanya,” tambah Bu Elsa.
Pengaruh
yang disebabkan tidak hanya pada tanah, lanjut Bu Elsa memaparkan bahwa luberan
limbah juga dapat mempengaruhi air disekitar dan ujung-ujungnya mengalir ke
aliran bengawan solo.
Kegiatan
yang dilakukan oleh warga tersebut jelas memberikan dampak bagi lingkungan dan
itupun sudah berlangsung selama ratusan tahun pada zaman colonial Belanda. Pada
masa itu, masyarakat masih menggunakan tenaga manusia, yang menarik Kandungan Minyak dan Gas Alam (lantung) dari
dalam bumi melalui lubangan kecil yang dinamakan sumur. Sehingga banyak
masyarakat wonocolo dan sekitarnya yang menggantungkan hidupnya dengan
memanfaatkan sumur tersebut dari pada bergerak disektor pertanian. Dalam
melihat aktivitas penambang emas hitam ini, penulis berhasil menjumpai salah
satu warga penambang asal desa Wonocolo. Karmin dari tahun 1982 sudah menggantungkan
hidupnya sebagai pengeruk lantung. Dan dalam seminggu ia mengaku mendapat upah
rata-rata sebesar Rp 300 ribu. “Ya, Alhamdulillah dalam seminggu dapat bagian
Rp 300 ribu,” katanya sambil melakukan pekerjaannya.
Ia
melanjutkan, dalam pekerjaan tersebut karmin bersama 12 orang lainnya membagi
tugas pekerjaan yang berbahaya ini. “Ada yang mengoperasikan, ada yang mengeruk
dan bertugas di penyulingan serta ada yang menjualnya dengan membawa rengkek
(jerigen),” tambanya.
Hal
itu menjadi gamabaran nyata yang dilakukan oleh masyarakat desa Wonocolo sejak
lama, dari zaman Belanda jumlah sumur tua terbilang 200. Namun, pada saat ini
seperti yang disampaikan Ibrahim selaku petugas Museum Wonocolo atau Rumah
Singgah, jumlah tersebut bertambah hingga 720 sumur. “Dulu cuman 200 sumur,
sekarang sudah 720 sumur, baik yang aktif maupun non aktif,” terangnya.
Bram
sapaannya berlasaan bahwa adanya sumber minyak yang terkandung di dalam dataran
tinggi inilah yang membedakan wonocolo dengan Negara-negara penghasil minyak
Dunia. “Sumber kandungan minyak ini berada pada jebakan antiklin yang
menyerupai kubah sebuah bangunan,” ungkapnya Bram saat menyampaiakan pendapatnya
tentang Migas di Wonocolo.
Selain
itu berdasarkan keterangannya, bukit dari wonocolo itu terdiri dari berbagai
formasi, diantaranya ialah, Formasi Ledok yang tersusun selama 8 Juta Tahun
yang lalu, Formasi Wonocolo tersusun dari 10 Jtl, dan Ngrayong dari 12 Jtl
serta masih banyak lagi. Beberapa data tersebut penulis berupaya menggambarkan
secara geologis dari desa Wonocolo serta keindahan bumi ini semoga dapat dinikmati
anak cucu kita kelak.
Sehingga
dengan adanya destinasi wisata yang bernama The Little Teksas Wonocolo ini yang
dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
(Disbudpar) Bojonegoro agar dapat merubah mindset masyarakat untuk selalu
menjaga lingkungan hidupnya. Seperti
yang diharapkan Kasmari selaku Sekretaris Kecamatan Kedewan dengan adanya
wisata tersebut, masyarakat akan sejahtera tanpa merusak alam lingkugan
sekitarnya. “Menyangkut kesejahteraan, masyarakat dapat memanfaatkan destinasi
ini menjadi sumber penghasilan, seperti membuat souvenir, berjualan dan aneka
oleh-oleh khas dari wonocolo,” harapnya.
Disamping
itu, kegiatan ini menjadikan refleksi kita bersama, mengingat pentingnya
menjaga kelestarian alam, lingkungan yang sehat dan tercapainya masyarakat
sejahtera. Dan teringat perkataan tokoh India Mahatma Gandhi yang mengatakan,
bahwa Kekayaan Alam di Bumi akan dapat memenuhi kebutuhan manusia, tetapi
Kekayaan Alam di Bumi tidak dapat memenuhi dari Keserakahan manusia.
Oleh : Andri Yanto