Minggu, 25 Desember 2016

LAMA TAMBANG MIGAS PENGARUHI LINGKUNGAN WARGA WONOCOLO




LAMA TAMBANG MIGAS PENGARUHI LINGKUNGAN WARGA WONOCOLO

Bojonegoro memiliki objek wisata yang menjadikan perbedaan tersendiri dari  daerah-daerah lain yang ada di wilayah Jawa Timur ataupun Indonesia, bahkan kalau penulis tidak segan-segan hingga Internasional.  Tempat itu terletak di desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan yang akhir-akhir ini telah buming ditelinga pecinta wisata migas (Petroleum Geo Heritage Teksas Wonocolo).
Semenjak diresmikan oleh Bupati Suyoto pada 27 mei 2016 bulan lalu, kini semakin banyak pengujung yang mendatangi kawasan objek vital Nasional tersebut. Termasuk si penulis beberapa hari lalu yang melakukan observasi untuk melengkapi tulisannya.
“Saya memilih tempat ini, lantaran sesuai dengan kegiatannya yang berdampak terhadap lingkungan sekitar tambang migas di desa Wonocolo,” ungkap penulis.
Pengaruh yang melalui pencemaran udara terasa saat kita mulai masuk di area wisata Teksas Wonocolo, dengan bau yang menyengat masuk lewat hidung dan membuat kepala akan terasa pusing. Setelah ditelusuri, bau tersebut dihasilkan dari penyulingan lantung yang di masak dalam tungku tradisional (tanah liat).
Selain itu, pengaruh yang disebabkan oleh kegiatan penambang migas ini menyebabkan rusaknya struktur tanah, sehingga dampak itu menimbulkan kematian pada tumbuhan sekitar tambang. Dampak tersebut juga dibenarkan Ibu Elsa D. Agustina selaku kepala Badan Lingkungan Hidup di Bojonegoro. “Diperkirakan hingga ratusan tahun, tanah tersebut tidak dapat ditanami sejumlah tanaman, dikarenakan limbah yang dihasilkan tidak dikelola dengan baik oleh pelaku tambang,” kata Ibu Elsa  setelah dimintai pendapatnya menegenai kegiatan warga penambang desa wonocolo terhadap dampak bagi lingkungan sekitar.
Disamping bahanyanya dampak bagi tanah, Pemerintah Bojonegoro melalui BLH sudah mengantisipasi limbah yang dihasilkan. “Padahal sudah diberikan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) untuk dapat mengelolanya,”  tambah Bu Elsa.
Pengaruh yang disebabkan tidak hanya pada tanah, lanjut Bu Elsa memaparkan bahwa luberan limbah juga dapat mempengaruhi air disekitar dan ujung-ujungnya mengalir ke aliran bengawan solo.
Kegiatan yang dilakukan oleh warga tersebut jelas memberikan dampak bagi lingkungan dan itupun sudah berlangsung selama ratusan tahun pada zaman colonial Belanda. Pada masa itu, masyarakat masih menggunakan tenaga manusia, yang menarik  Kandungan Minyak dan Gas Alam (lantung) dari dalam bumi melalui lubangan kecil yang dinamakan sumur. Sehingga banyak masyarakat wonocolo dan sekitarnya yang menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan sumur tersebut dari pada bergerak disektor pertanian. Dalam melihat aktivitas penambang emas hitam ini, penulis berhasil menjumpai salah satu warga penambang asal desa Wonocolo. Karmin dari tahun 1982 sudah menggantungkan hidupnya sebagai pengeruk lantung. Dan dalam seminggu ia mengaku mendapat upah rata-rata sebesar Rp 300 ribu. “Ya, Alhamdulillah dalam seminggu dapat bagian Rp 300 ribu,” katanya sambil melakukan pekerjaannya.
Ia melanjutkan, dalam pekerjaan tersebut karmin bersama 12 orang lainnya membagi tugas pekerjaan yang berbahaya ini. “Ada yang mengoperasikan, ada yang mengeruk dan bertugas di penyulingan serta ada yang menjualnya dengan membawa rengkek (jerigen),”  tambanya.
Hal itu menjadi gamabaran nyata yang dilakukan oleh masyarakat desa Wonocolo sejak lama, dari zaman Belanda jumlah sumur tua terbilang 200. Namun, pada saat ini seperti yang disampaikan Ibrahim selaku petugas Museum Wonocolo atau Rumah Singgah, jumlah tersebut bertambah hingga 720 sumur. “Dulu cuman 200 sumur, sekarang sudah 720 sumur, baik yang aktif maupun non aktif,” terangnya.
Bram sapaannya berlasaan bahwa adanya sumber minyak yang terkandung di dalam dataran tinggi inilah yang membedakan wonocolo dengan Negara-negara penghasil minyak Dunia. “Sumber kandungan minyak ini berada pada jebakan antiklin yang menyerupai kubah sebuah bangunan,”  ungkapnya Bram saat menyampaiakan pendapatnya tentang Migas di Wonocolo.
Selain itu berdasarkan keterangannya, bukit dari wonocolo itu terdiri dari berbagai formasi, diantaranya ialah, Formasi Ledok yang tersusun selama 8 Juta Tahun yang lalu, Formasi Wonocolo tersusun dari 10 Jtl, dan Ngrayong dari 12 Jtl serta masih banyak lagi. Beberapa data tersebut penulis berupaya menggambarkan secara geologis dari desa Wonocolo serta keindahan bumi ini semoga dapat dinikmati anak cucu kita kelak.
Sehingga dengan adanya destinasi wisata yang bernama The Little Teksas Wonocolo ini yang dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro agar dapat merubah mindset masyarakat untuk selalu menjaga lingkungan hidupnya.  Seperti yang diharapkan Kasmari selaku Sekretaris Kecamatan Kedewan dengan adanya wisata tersebut, masyarakat akan sejahtera tanpa merusak alam lingkugan sekitarnya. “Menyangkut kesejahteraan, masyarakat dapat memanfaatkan destinasi ini menjadi sumber penghasilan, seperti membuat souvenir, berjualan dan aneka oleh-oleh khas dari wonocolo,” harapnya.
Disamping itu, kegiatan ini menjadikan refleksi kita bersama, mengingat pentingnya menjaga kelestarian alam, lingkungan yang sehat dan tercapainya masyarakat sejahtera. Dan teringat perkataan tokoh India Mahatma Gandhi yang mengatakan, bahwa Kekayaan Alam di Bumi akan dapat memenuhi kebutuhan manusia, tetapi Kekayaan Alam di Bumi tidak dapat memenuhi dari Keserakahan manusia.


Oleh : Andri Yanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar