Jumat, 10 Oktober 2014

OPINI IDEOLOGI DUNIA




IDEOLOGI DUNIA

                Banyak sekali ideologi dunia yang sepertinya sulit untuk disebutkan satu persatu. Seluruh kata yang berakhiran “isme” adalah sebuah ideologi. “Isme” dapat kita terjemahkan sebagai kata “paham”. Komun-isme yang dapat kita artikan paham komunis. Sosial+isme adalah paham sosial. Dan berbagai macam isme-isme lainnya.

                Di dunia ada dua kutub ideologi yang berseberangan. Antara ideologi liberalisme-kapitalisme dan sosialisme-komunisme. Liberalisme adalah suatu paham liberal, paham kebebasan, paham yang menjadikan pasar bebas itu ada. Paham yang di gunakan PBB untuk menstabilkan ekonomi dunia. Sedangkan kapitalisme adalah paham kapital. Paham yang dimana seorang pemilik harta/modal terbanyak, maka dia yang berhak berkuasa dan yang paling berhak mendapat keuntungan banyak. Sosialisme adalah paham sosial kemanusiaan. Paham yang menempatkan rasa kemanuisiaan di tempat tertinggi. Kemanusiaan adalah harga mati di atas ketuhanan. Jadi tidak heran jika warga negara sosialisme lebih cenderung menjunjung tinggi nilai toleransinya daripada nilai-nilai agamanya. Komunisme adalah paham yang biasa kita dengar sebagai sama-rasa sama-rata. Komunisme cenderung bersifat kolektif kolegial. Kita bekerja keras dan kita tidak bekerja keras, kita akan mendapat sebuah hasil yang sama.

                Mengapa dua kutub ideologi tersebut berseberangan? Pertama, kutub liberal-kapital dibandingkan dengan kutub sosial-komunis adalah prinsip budayanya. Budaya yang biasanya kita dengar di indonesia, atau sering kita sebut gotong royong itu tidak berlaku bagi paham kapitalis maupun liberalis. Sebaliknya, paham sosialis dan komunis sangat menjunjung tinggi gotong-royong, atau kolektif-kolegial sebutan bagi dunia.

                Kedua, tentang sistem ekonomi. Sistem ekonomi kapitalisme sangatlah berseberangan dengan  sistem ekonomi komunisme. Kapitalisme dapat dikatakan juga egois dalam sistem ekonomi dan dapat juga dikatakan sebagai nilai kemandirian. Karena, kapitalisme dapat menimbun harta dan meraup keuntungan banyak jika dia bekerja keras dan alternatif lain dia memiliki modal yang banyak sehingga dapat membeli saham. Berbeda dengan sistem ekonomi komunis. Sistem ekonomi komunis dapat kawan-kawan simpulkan sendiri atas arti dari komunis itu sendiri, sama-rasa sama-rata. Sistem ekonomi yang menjunjung tinggi gotong-royong/kolektif-kolegial. Maka dari itu seberapa banyak modal yang ditanamkan, seberapa keras upaya untuk bekerja, hasil yang di dapat adalah sama rata.

Sistem ekonomi dan budaya dua kutub tersebut sangatlah jauh berseberangan. Sekarang jika kawan-kawan di hadapkan oleh sebuah pilihan, kawan-kawan akan memilih paham yang mana? Kapitalis? Dapat menimbun harta, memiliki konsep kemandirian, barang siapa yang bekerja keras mendapatkan hasil yang berbeda. Dan yang menanamkan modal besar juga mendapatkan hasil yang berbeda. Namun untuk gotong royong di segala bidangnya dapat di katakan nol.

Atau kawan-kawan memilih paham komunisme? Yang memiliki budaya toleransi dan kemanusiaan yang tinggi. Meskipun kalian malas, bekerja secara tidak serius akan mendapatkan hasil yang sama. Tidak dapat menimbun harta. Namun setiap kesulitan kawan-kawan di bidang apapun akan di tolong. Begitulah perbedaan antara dua kutub ideologi tersebut.

Adakah kutub ketiga selain itu? Ada. Dan saya katakan itu bukanlah kutub ketiga. Melainkan sebuah poros tengah penyeberangan dari dua kutub ideologi tersebut. Ideologi tersebut adalah ideologi kita sebagai bangsa indonesia. Pancasila adalah poros tengah daripada dua kutub ideologi tersebut dan dunia menganggap pancasila adalah kutub ideologi yang ketiga yang mampu mambawa perdamaian dunia. Azas nasionalisme-kemanusiaan, sosial-demokrasi dan ketuhanan adalah suatu ideologi yang paling sempurna.  Dan akhirnya banyak negara yang mengikuti azas tersebut dengan sebutan berbeda di tiap negara, yakni bukan pancasila lagi. Di india ajaran tersebut dimulai oleh mahatma gandhi. Di venezuela dimulai oleh hugo chavez. Dan mereka menggunakan ideologi serupa atas dasar inspirasi dari presiden proklamator indonesia ir soekarno.

Pancasila adalah gabungan dari paham dua kutub dunia tersebut. Mulai dari sistem ekonomi dan budaya. Sitem ekonomi non-komunis dan non-kapitalis diterapkan oleh negara kita tercinta. Kita tetap mandiri di dalam bidang ekonomi. Dalam artian, kita tetap harus bekerja keras jika ingin mendapatkan sebuah hasil yang lebih. Namun, tidak terlepas dari azas KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKAT INDONESIA yang sesuai dengan sila kelima pancasila. Dan tidak ada perbedaan hak dan kewajiban di antara si kaya dan si miskin. Saya ulas kembali perbedaan si kaya dan si miskin sangat dirasakan sekali pada masyarakat yang tinggal di negara kapitalis dan liberalis. Namun tidak di negara komunis. Jadi, indonesia memiliki sebuah sistem yang tepat. Setiap individu berhak mandiri, menimbun harta, namun tidak ada kesenjangan sosial di tiap-tiap individu.

Sistem budaya yang tertera di dalam pancasila adalah sistem gotong-royong atau yang lebih dikenal mendunia adalah kolektif-kolegial. Sistem budaya ini adalah sistem budaya yang tidak jauh beda dari sistem budaya komunis-sosialis yang mengutamakan toleransi antar sesama manusia yang berlandaskan ketuhanan.

Jadi patut kita bangga dengan bangsa kita yang mampu melahirkan paham perdamaian dunia yaitu nasionalisme-kemanusiaan, sosial demokrasi, dan ketuhanan sebagai landasan utama. Dan terpenting lagi, bapak presiden pertama indonesia yang menjadi pencetusnya. Sang proklamator ir soekarno yang sekaligus mengantarkan kita menuju gerbang kemerdekaan. MERDEKA !!!!!!!

Oleh            : ARIEL SHARON, S.Pd
Jabatan        :
WAKABID ORGANISASI DPC  GMNI BOJONEGORO











Senin, 06 Oktober 2014


KESETIAKAWANAN SOSIAL SEBAGAI KEKUATAN NASIONALISME BARU INDONESIA

PENDAHULUAN
Namanya Sawali dan Slamet, keduanya bukan nelayan biasa. Sawali dan Slamet, keduanya tangkas memainkan layar perahu, dan tangkas pula memegang kemudi. Lebih dari itu, keduanya adalah pemuda yang berani, dan memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi. Karena itulah keduanya diikutkan dalam rombongan yang terdiri dari tiga perahu, berlayar dari pulau Jawa menuju pulau Bali. Tim ekspedisi kecil itu dipimpin oleh pak Markadi, pelaut yang lebih berpengalaman
 Sawali dan Slamet, keduanya adalah pemuda sederhana. Bahkan, teramat sederhana. Keduanya tersipu dan saling memandang ketika telah mengenakan seragam yang harus dipakainya dalam perjalanan laut itu. Namun dibalik kesederhanaannya, tersembunyi tekad dan semangat juang yang tinggi. Oleh karena itu keduanya tidak gentar ketika perahunya dihempas gelombang setibanya mereka di laut lepas. Bahkan, ketika perahunya didekati oleh kapal patroli musuh, keduanya justru memekikkan semangat juangnya : " Tahan Kemudi ! Kembangkan layar ! Majuu...........!! "
 Hampir saja kapal patroli itu menabrak perahunya. Kelasi dan opsir yang ada di kapal patroli itu berteriak-teriak menyuruhnya berhenti. Namun Sawali dan Slamet tidak mempedulikannya. Opsir di kapal patroli mengumpat-umpat, kemudian memerintahkan bawahannya untuk menembak.......
 Dan berondongan peluru menembus badan perahu, menembus ombak, dan melubangi layar perahu. Sawali dan Slamet tersungkur. Darahnya bercucuran membasuh perahu, namun tangannya masih erat memegang kemudi. Hari itu adalah hari keempat di bulan April 1946. Layar masih terkembang, dan perahu tetap melaju dibawa angin dan arus melintasi selat Bali .....................
 Dan pahlawan bangsa itu, Sawali dan Slamet, keduanya bahkan tidak meninggalkan pesan apa-apa. Pesannya adalah perbuatannya. Pesannya adalah pengorbanan jiwa dan raganya. Pesannya adalah cucuran keringat dan darahnya, yang semuanya sudah menjadi satu dengan laut di Selat Bali.
 Sawali dan Slamet adalah pemuda desa anak nelayan biasa, keduanya terlalu sederhana untuk meninggalkan pesan agar namanya diukirkan di monumen perjuangan bangsa. Keduanya terlalu sederhana untuk berpesan agar namanya tetap dikenang.
 Namun begitu, Sawali dan Slamet, seperti juga pejuang-pejuang yang gugur lainnya - dimana namanya tak sempat tercatat di lembaran sejarah bangsa - adalah patriot dan pahlawan bangsa yang jiwa maupun semangatnya tetap hidup. Jiwa dan semangatnya abadi menyebarkan bau harum dari puncak-puncak nirwana. Dan akan selalu tetap dikenang .............
 Cuplikan heroisme dan patriotisme yang mengandung nilai-nilai kesetiakawanan di atas adalah sebagian kecil saja dari kisah perjuangan dalam menjaga dan mempertahankan tetap tegaknya proklamasi kemerdekaan. Dan berlatar belakang kisah kepahlawanan itu - sebagai titik tolak pendekatan sejarah - tulisan ini selanjutnya berusaha membahas kesinambungan jiwa dan semangat patriotisme, dalam upaya meningkatkan kesetiakawanan sosial menjadi kekuatan nasionalisme baru Indonesia, yaitu kekuatan yang bisa diandalkan untuk memimpin dan meneruskan pembangunan.

PATRIOTISME DAN NILAI-NILAI KESETIAKAWANAN SOSIAL PEJUANG '45
 Sejarah perlawanan rakyat Indonesia dalam menjaga dan mempertahankan tetap tegaknya proklamasi kemerdekaan, merupakan sejarah yang banyak berisi catatan-catatan tentang penderitaan dan kesengsaraan bersama, kesetiakawanan sosial yang tinggi dan kerelaan untuk berkorban, serta semangat pantang menyerah untuk mewujudkan cita-cita kehidupan bersama.
 Jika demikian, bagaimana identitas patriotisme yang telah menghasilkan kenang-kenangan nasional tentang kepahlawanan itu ? Tidak ada kata dan kalimat yang tepat untuk menggambarkannya, selain kata-kata seperti : - bambu runcing, letupan bedil, desingan peluru, cucuran keringat dan darah ..... Juga, pekik perjuangan seperti : - Merdeka ! Sekali Merdeka Tetap Merdeka ! Merdeka atau Mati ! ......
 Patriotisme pejuang 45 adalah semangat cinta tanah air yang merdeka dan berdaulat. Dan karena yang menjadi tujuan adalah tanah air yang merdeka dan berdaulat, maka jiwa yang tadinya mengalami penderitaan dan kesengsaraan bersama disebabkan oleh praktek kolonialisme, bangkit dan menyatukan diri untuk mempertahankan hak milik nasional yang telah dicapainya. Oleh karena itu, jiwa ini tidak memandang kelompok atau golongan. Tidak memandang kaya atau miskin. Tidak memandang terpelajar atau bukan terpelajar.
 Patriotisme pejuang 45 bangkit dalam bentuk jiwa kesetiakawanan sosial yang tinggi, disertai kerelaan untuk berkorban, karena semuanya merasa senasip dan sepenanggungan. Ibaratnya, pernah merasakan makan getuk sama-sama. Sehingga semuanya merasa sama dan ingin bersatu. Tidak peduli apakah rakyat biasa, tentara, atau bangsawan. Tidak peduli kaya atau miskin. Buta huruf atau melek huruf. Insinyur atau tukang. Cina, Arab keturunan atau Jawa, Batak, Madura. Singkatnya, suatu jiwa kesetiakawanan sosial yang tinggi, tulus ihlas dan rela berkorban demi tetap tegak dan utuhnya proklamasi kemerdekaan.
 Jiwa semacam itulah yang menghidupi rasa kebangsaan atau nasionalisme pejuang 45, dan memberi arah serta tujuannya. Sehingga nasionalisme pejuang 45 adalah nasionalisme yang berisi keinginan untuk bebas dari penjajahan. Keinginan untuk merdeka dan mempertahankan kemerdekaan itu. Keinginan untuk berdaulat, sehingga dapat mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara secara mandiri. Serta keinginan untuk bersatu, sehingga dapat bersama-sama berjuang untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
 Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa nilai-nilai kesetiakawanan sosial pejuang 45 - yang menjadi landasan tumbuhnya kekuatan nasionalisme 45 - yang pokok dan terpenting ialah :
 1.- Kuatnya perasaan keinsyafan tentang Kesamaan Nasip.
 2.- Kuatnya perasaan keinsyafan tentang Kesamaan Tujuan.
Keinsyafan tentang Kesamaan Nasip, dalam hal ini timbulnya kesadaran bahwa telah sama-sama menderita akibat dari praktek-praktek kolonialisme. Timbulnya kesadaran di seluruh lapisan masyarakat, bahwa mulai dari rakyat jelata sampai ke golongan menengah, golongan terpelajar maupun bangsawan, semuanya tidak ada yang merasa beruntung karena praktek kolonialisme. Dan keinsyafan tentang kesamaan nasip inilah yang menyatukan seluruh lapisan masyarakat, untuk bersama-sama berjuang mencapai cita-cita bangsa.
Keinsyafan tentang Kesamaan Tujuan, dalam hal ini adalah timbulnya kesadaran tentang perlunya membebaskan bangsa dari penjajahan, sehingga bisa menjadi bangsa yang merdeka serta bebas untuk menentukan nasip sendiri. Dan keinsyafan tentang kesamaan tujuan inilah yang mempersatukan seluruh cita-cita perjuangan, serta mengatasi segala perbedaan pendapat, sehingga menjadi kekuatan nasional yang hebat dan sanggup membebaskan bangsa dari penjajahan.
 Keinsyafan tentang Kesamaan Nasip dan Tujuan inilah sebenarnya yang menjadi faktor penentu bagi keberhasilan pejuang 45 dalam membebaskan bangsa dari penjajahan, serta keberhasilan dalam mempertahankan tetap tegak dan utuhnya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dapat dibayangkan, misalnya, bila keinsyafan tentang kesamaan nasip itu tidak dibarengi dengan keinsyafan tentang kesamaan tujuan. Jelas, motivasi perjuangan akan terpecah-pecah, dan pada gilirannya akan melemahkan perjuangan itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, bila tujuan sudah sama, namun rasa senasip sepenanggungan tidak ada, jelas hal ini akan menimbulkan kurangnya rasa kesetiakawanan, dan pada gilirannya akan menimbulkan perjuangan yang setengah-setengah atau tidak mantap.
 Beruntung dan bersyukurlah kita, bahwa pada awal perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, keinsyafan tentang kesamaan nasip dan tujuan itu sudah berhasil ditumbuhkan, sehingga berkembang dan meningkat menjadi kesetiakawanan sosial yang tinggi. Dan nilai-nilai kesetiakawanan sosial inilah yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kekuatan nasionalisme 45. Akhirnya berhasil mengantarkan rakyat ke pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.

KESETIAKAWANAN SOSIAL SEBAGAI KEKUATAN NASIONALISME INDONESIA.
 Ernest Renan, dalam pidatonya pada tanggal 11 Maret 1882 di Universitas Sorbonne, Paris, berusaha menjawab pertanyaan : - Apakah bangsa itu ? ( Qu'est ce qui' une nation' ? ).
 Menurut Ernest Renan, bangsa adalah suatu jiwa atau asas kerohanian. Dan jiwa atau asas kerohanian itu ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu :
 1.- Kemuliaan bersama di waktu lampau. Dari aspek ini bangsa dapat disebutkan sebagai hasil dari sejarah.
 2.- Kehendak untuk bersatu, yaitu suatu keinginan untuk hidup bersama di waktu sekarang dan untuk masa yang akan datang. Dari aspek ini bangsa dapat disebutkan sebagai suatu solidaritas atau kesetiakawanan yang besar dari manusia untuk melangsungkan kehidupan bersama.
 Bagi Ernest Renan, manusia bukanlah budak dari keturunan atau rasnya, bahasanya, agamanya, maupun tempat tinggal atau tanah airnya. Bangsa adalah suatu asas kerohanian, yaitu suatu kesadaran moral untuk bersatu dan hidup bersama. Teori Kebangsaan Ernest Renan dapat dipandang sebagai " teori perasaan atau kehendak ". Dan bertentangan dengan " teori kebudayaan ", yang menyatakan bahwa suatu bangsa merupakan perwujudan dari adanya persamaan kebudayaan, yakni persamaan bahasa, agama, dan keturunan atau ras.
 Otto Bauer, seorang tokoh partai Sosial Demokrat Austria, pada tahun 1907 dalam menjawab pertanyaan yang sama, menyatakan bahwa yang disebut suatu bangsa ialah suatu masyarakat ketertiban yang muncul dari masyarakat yang senasip. Dengan kata lain, bangsa adalah suatu kesamaan perangai / karakter yang timbul karena kesamaan nasip. Teori Otto Bauer ini dapat dipandang sebagai " teori kesamaan nasip ".
 Rudolf Kjellen, dalam bukunya Der Staat als Lebensform, menyamakan jiwa bangsa dengan nafsu hidup dari mahluk. Suatu bangsa mempunyai dorongan untuk hidup, mempertahankan diri, dan kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk hidup itu adalah suatu keinginan untuk menjadi satu rakyat yang bersaudara satu sama lain. Teori kebangsaan dari Rudolf Kjellen ini hampir sama dengan teori Ernest Renan, yaitu adanya kehendak untuk bersatu.
 Sedangkan Karl Haushofer, dalam bukunya Geopolitik des Pazifisches Ozeans ( 1924 ) mengemukakan teori kebangsaan berdasarkan " blut - und - boden ", atau teori " darah - dan - tanah. " Teori ini merupakan bagian dari teori geopolitik yang menyatakan adanya kesatuan antara manusia dengan tanah air sebagai tempat tinggalnya. Teori kebangsaan Karl Haushofer ini sering disebut sebagai teori geopolitik. Dan teori geopolitik ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kaum nasionalis di Indonesia. Bung Karno, tokoh pergerakan nasional saat itu merupakan pendukung teori geopolitik ini.
 Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, Bung Karno menyatakan, bahwa menganut faham kebangsaan berdasarkan teori Ernest Renan dan Otto Bauer saja tidak cukup. Renan dan Bauer hanya melihat manusianya, hanya memikirkan perasaan, kehendak, dan karakter dari manusianya. Mereka tidak melihat tanah air sebagai tempat tinggal manusianya itu. Oleh karena itu menurut Bung Karno, faham kebangsaan Renan dan Bauer itu harus dilengkapi dengan faham adanya kesatuan antara manusia dengan tempat tinggalnya. Dengan demikian ada hubungan antara perasaan, kehendak, dan karakter dari manusia dengan tanah air yang menjadi tempat tinggalnya.
 Dari berbagai teori maupun faham kebangsaan yang dikemukakan di atas,  kita bisa mengetahui adanya pokok-pokok pemikiran yang sama atau saling melengkapi.   Dan khususnya teori Ernest Renan,  Otto Bauer,  dan Rudolf Kjellen  :   kehendak untuk bersatu dalam solidaritas besar,  kesamaan nasip,  dan keinginan menjadi rakyat yang bersaudara satu sama lain,  ini semua tidak lain adalah unsur-unsur dari kesetiakawanan sosial yang didasari oleh adanya keinsyafan tentang kesamaan nasip dan tujuan.
 Demikian pula teori kesatuan antara manusia dengan tempat tinggalnya,  teori persamaan kebudayaan,  pada dasarnya tercakup dan terkandung dalam keinsyafan tentang kesamaan nasip dan tujuan sebagai unsur pokok dan terpenting dari suatu jiwa kesetiakawanan sosial.

 Berdasarkan pemikiran itu kita bisa menyatakan,  bahwa pada dasarnya suatu jiwa kesetiakawanan sosial adalah merupakan unsur pokok dari segala faham tentang kebangsaan.   Dengan kata lain,  suatu kesetiakawanan sosial yang berdasarkan atas kesamaan nasip dan tujuan,  merupakan unsur pokok dari kekuatan semangat kebangsaan atau nasionalisme.
 Ide atau konsep tentang Kesetiakawanan Sosial sebagai Unsur Pokok Kekuatan Nasionalisme ini nampak dengan jelas dalam pandangan Panitia Lima tentang Bangsa.   Yang dimaksud dengan Panitia Lima adalah sebuah panitia yang disusun atas anjuran pemerintah (  Presiden Soeharto ),  dengan maksud untuk memberikan pengertian mengenai Pancasila sesuai alam pikiran dan semangat lahir batin para penyusun UUD 1945.   Panitia Lima ini semula diharapkan dapat terdiri  dari mantan Panitia Sembilan yang menandatangani perumusan Rancangan Pembukaan UUD 1945 yang disebut Piagam Jakarta.   Tetapi berhubung pada saat dibentuknya Panitia  tersebut yang masih hidup tinggal tiga orang  :   Dr.Mohammad Hatta,  Prof.Mr. Ahmad Subardjo Djojodisurjo,  dan Mr. Alex Andries Maramis,  maka dilengkapi dengan Prof.Mr. Sunario dan Prof.Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo  (  mantan Sekretaris BPUPKI  ),  sehingga menjadi lima orang.
 Dalam buku "  Uraian Pancasila " yang kemudian diterbitkan  (  Panitia Lima,  Penerbit Mutiara,  Jakarta,  1977 ) panitia ini menyimpulkan bahwa Bangsa adalah : 
 "  ................ditentukan oleh Keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu,  yaitu Keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasip dan tujuan.   Keinsyafan itu bertambah besar oleh karena sama seperuntungan,  malang sama diserita,  mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama,  kesengsaraan bersama,  pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam di dalam hati dan otak. "
 Bila diperhatikan,  pengertian yang terkandung dalam kriterium di atas tidak lain adalah suatu ide atau konsep tentang Kesetiakawanan Sosial.   Dan menurut Panitia Lima,  kriterium seperti itulah yang diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan persatuan bangsa,  guna mencapai tujuan hidup bangsa Indonesia.

KESETIAKAWANAN SOSIAL SEBAGAI KEKUATAN
NASIONALISME BARU INDONESIA

Nasionalisme adalah suatu proses sejarah.   Sebagai proses sejarah,  nasionalisme tidak pernah berhenti.   Nasionalisme tidak berhenti dengan tercapainya kemerdekaan.   Tidak berhenti dengan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa.   Juga tidak berhenti dengan lahirnya Orde Baru.    Nasionalisme terus bergerak,  tumbuh,  dan akan terus berkembang sesuai dengan gerak perkembangan masyarakat.
Namun harus diingat,  bahwa perkembangan nasionalisme itu bukanlah perkembangan yang akan terjadi dengan sendirinya.   Bukan perkembangan yang dibiarkan tanpa arah maupun tujuan yang jelas.   Bila nasionalisme dibiarkan berkembang tanpa arah,  tanpa dibina dan dikendalikan,  bisa terjadi nasionalisme tersebut berkembang secara liar,  sehingga dapat menjadi semacam penyakit kanker bagi kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu jiwa dan semangat nasionalisme harus selalu dibina,  dikembangkan,  serta diarahkan terus-menerus,  menuju ke arah perwujudan dari kekuatan-kekuatan nasionalisme yang diperlukan untuk pembangunan bangsa.


OLEH     : BIRO PERS GMNI BOJONEGORO


FITSAFATNYA ORANG INDONESIA



FILSAFATNYA ORANG INDONESIA
“FILSAFAT” dikenal sebagai induk ilmu pengetahuan yang memiliki beragam pengertian, banyak ahli atau filusuf (ahli filsafat) yang berpendapat dengan paradigma mereka masing-masing. Jika filsafat diartikan sebagai pemaknaan atau pemahaman secara radikal atau mendasar terhadap apa yang ada atau gejala-gejala yang ada, maka setiap manusia memiliki filsafatnya masing-masing, bahkan seorang penjahatpun memiliki filsafat hidup ini.
Akan tetapi nyatanya tidak semua orang berani mengaku dirinya mempunyai filsafat, apakah filsafat itu milik para profesor atau orang-orang pandai saja ? Itu benar jika apabila filsafat diartikan sebagai pemaknaan atau pemahaman yang mendasar, final, radikal dan total dalam suatu sistem konseptual dan dibuktikan dengan kebenaran penemuan. Para sarjana boleh saja menganut filsafat tertentu, tetapi benarkah ia bersikap hidup berdasarkan filsafatnya itu ? Apakah filsafatnya itu benar-benar menjadi pemaknaan hidupnya sehari-hari ? atau apakah filsafat itu hanya suatu pengetahuan saja ? dan apa yang diketahui itu tidak harus berkaitan dengan apa yang dilakukannya ?
Masyarakat Indonesia tidak memiliki sejarah filsafat seperti barat yang mampu merubah pola pikir manusia, akan tetapi bagi masyarakat Indonesia, filsafat itu bukan hanya sekedar pengetahuan rasional, tetapi juga harus dibuktikan dan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat itu sebagai sebuah wacana yang kurang dilakukan, tetapi filsafat itu sebagai “pegangan hidup” dan sejak dulu sudah dipraktikan. Inilah sebabnya untuk mengetahui “filsafat” orang Indonesia, kita perlu membaca dan mengetahui berkas-barkas hasil tindakannya. Filsafat orang Indonesia adalah wujud secara langsung dengan praktik dalam kehidupan sehari-hari, filsafat Indonesia tidak terwujud dari sebuah diskusi-diskusi formal dan juga verbal yang bersifat abstrak rasional seperti biasa yang sering kita baca dalam sejarah filsafat barat ( eropa-amerika ).
Dalam sejarah filsafat barat terkesan banyak yang memandang dari segi non-rasio, yang menitikberatkan pada pemahaman yang bersifat abstrak dan cenderung terpisah antara pemikiran dan tindakan. Sedangkan filsafat Indonesia ada di balik tingkah laku kehidupan sehari-hari atas dasar hasil-hasil faktual dari kegiatan mereka. Filsafat orang Indonesia ada di balik pepatah-petitih, di balik rumah-rumah adat, di balik upacara-upacara adat, di balik mitos-mitos tua, di balik ragam hias pakaian yang mereka kenakan, di balik persenjataan yang mereka gunakan, di balik sistem pengaturan sosialnya, dan lain-lain sebagainya. Karena pada dasarnya filsafat adalah pola berfikir bagaimana manusia ini mencapai keselamatannya dalam hidup ini dan dalam hidup kemudian, satu filsafat sudah cukup atau campuran dari beberapa filsafat sudah lebih dari cukup. Dan untuk apa mengetahui tanpa dijalankan ?

FILSAFAT ORANG INDONESIA TIDAK TERKONSEPKAN !
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, dimana suku-suku bangsa tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda baik dari pola pikirnya, tingkah laku dan kehidupan sosial kemasyarakatannya dan inilah yang membedakan Indonesia dengan negara lainnya. Dayak, minangkabau, bugis, madura, sunda dan jawa dan lain sebagainya adalah suku-suku yang ada di indoenesia, apakah mereka itu sama dalam pola pikirnya jika dikatan filsafat itu merupakan pola pikir manusia, dan apakah hasil-hasil kebudayaan mereka sama ? Jawabanya adalah tidak, karena cara mereka hidup dan melakukan sesuatu dalam kehidupan berdasarkan hal-hal yang berorientasi pada kehidupan leluhur mereka yang menggunakan filsafat hidup masing-masing, sehingga apa yang mereka kerjakan ataupun lakukan baik berupa pola pikir ataupun tata cara hidup bersosial sesuai dengan kaidah masing-masing suku. Maka dari itu, filsafat yang mereka gunakan berbeda-beda dikarenakan cara mereka hidup otodidak tidak terkonsepkan sama sekali dan semua itu berdasarkan pada filsafat etnis mereka masing-masing. Dayak, Minangkabau, bugis, Madura, sunda, jawa daln lain sebagainnya itulah Indonesia yang memiliki filsafat berbeda-beda akan tetapi tetap bhineka tunggal ika.


Nama                : Arul Efansyah
TTL                  : Bojonegoro, 14 April 1992
Alamat              : Ds. Sekaran Kec. Balen Kab. Bojonegoro
Jurusan              : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Semester           : 8 (Dealapan)             
NIM                 : 101100101
Kelas                : IV-A
Jabatan              : Sekretaris DPC GMNI Bojonegoro

Ilmu itu didapat dengan lidah yang gemar bertanya dan akal yang mau berfikir