KESETIAKAWANAN
SOSIAL SEBAGAI KEKUATAN NASIONALISME BARU INDONESIA
PENDAHULUAN
Namanya Sawali
dan Slamet, keduanya bukan nelayan biasa. Sawali dan Slamet, keduanya tangkas
memainkan layar perahu, dan tangkas pula memegang kemudi. Lebih dari itu,
keduanya adalah pemuda yang berani, dan memiliki rasa kesetiakawanan yang
tinggi. Karena itulah keduanya diikutkan dalam rombongan yang terdiri dari tiga
perahu, berlayar dari pulau Jawa menuju pulau Bali. Tim ekspedisi kecil itu
dipimpin oleh pak Markadi, pelaut yang lebih berpengalaman
Sawali dan Slamet, keduanya adalah pemuda
sederhana. Bahkan, teramat sederhana. Keduanya tersipu dan saling memandang
ketika telah mengenakan seragam yang harus dipakainya dalam perjalanan laut
itu. Namun dibalik kesederhanaannya, tersembunyi tekad dan semangat juang yang
tinggi. Oleh karena itu keduanya tidak gentar ketika perahunya dihempas
gelombang setibanya mereka di laut lepas. Bahkan, ketika perahunya didekati
oleh kapal patroli musuh, keduanya justru memekikkan semangat juangnya : "
Tahan Kemudi ! Kembangkan layar ! Majuu...........!! "
Hampir saja kapal patroli itu menabrak
perahunya. Kelasi dan opsir yang ada di kapal patroli itu berteriak-teriak
menyuruhnya berhenti. Namun Sawali dan Slamet tidak mempedulikannya. Opsir di
kapal patroli mengumpat-umpat, kemudian memerintahkan bawahannya untuk
menembak.......
Dan berondongan peluru menembus badan perahu,
menembus ombak, dan melubangi layar perahu. Sawali dan Slamet tersungkur. Darahnya
bercucuran membasuh perahu, namun tangannya masih erat memegang kemudi. Hari
itu adalah hari keempat di bulan April 1946. Layar masih terkembang, dan perahu
tetap melaju dibawa angin dan arus melintasi selat Bali .....................
Dan pahlawan bangsa itu, Sawali dan Slamet,
keduanya bahkan tidak meninggalkan pesan apa-apa. Pesannya adalah perbuatannya.
Pesannya adalah pengorbanan jiwa dan raganya. Pesannya adalah cucuran keringat
dan darahnya, yang semuanya sudah menjadi satu dengan laut di Selat Bali.
Sawali dan Slamet adalah pemuda desa anak
nelayan biasa, keduanya terlalu sederhana untuk meninggalkan pesan agar namanya
diukirkan di monumen perjuangan bangsa. Keduanya terlalu sederhana untuk
berpesan agar namanya tetap dikenang.
Namun begitu, Sawali dan Slamet, seperti juga
pejuang-pejuang yang gugur lainnya - dimana namanya tak sempat tercatat di
lembaran sejarah bangsa - adalah patriot dan pahlawan bangsa yang jiwa maupun
semangatnya tetap hidup. Jiwa dan semangatnya abadi menyebarkan bau harum dari
puncak-puncak nirwana. Dan akan selalu tetap dikenang .............
Cuplikan heroisme dan patriotisme yang
mengandung nilai-nilai kesetiakawanan di atas adalah sebagian kecil saja dari
kisah perjuangan dalam menjaga dan mempertahankan tetap tegaknya proklamasi
kemerdekaan. Dan berlatar belakang kisah kepahlawanan itu - sebagai titik tolak
pendekatan sejarah - tulisan ini selanjutnya berusaha membahas kesinambungan
jiwa dan semangat patriotisme, dalam upaya meningkatkan kesetiakawanan sosial menjadi
kekuatan nasionalisme baru Indonesia, yaitu kekuatan yang bisa diandalkan untuk
memimpin dan meneruskan pembangunan.
PATRIOTISME
DAN NILAI-NILAI KESETIAKAWANAN SOSIAL PEJUANG '45
Sejarah perlawanan rakyat Indonesia dalam
menjaga dan mempertahankan tetap tegaknya proklamasi kemerdekaan, merupakan
sejarah yang banyak berisi catatan-catatan tentang penderitaan dan kesengsaraan
bersama, kesetiakawanan sosial yang tinggi dan kerelaan untuk berkorban, serta
semangat pantang menyerah untuk mewujudkan cita-cita kehidupan bersama.
Jika demikian, bagaimana identitas patriotisme
yang telah menghasilkan kenang-kenangan nasional tentang kepahlawanan itu ?
Tidak ada kata dan kalimat yang tepat untuk menggambarkannya, selain kata-kata
seperti : - bambu runcing, letupan bedil, desingan peluru, cucuran keringat dan
darah ..... Juga, pekik perjuangan seperti : - Merdeka ! Sekali Merdeka Tetap
Merdeka ! Merdeka atau Mati ! ......
Patriotisme pejuang 45 adalah semangat cinta
tanah air yang merdeka dan berdaulat. Dan karena yang menjadi tujuan adalah
tanah air yang merdeka dan berdaulat, maka jiwa yang tadinya mengalami
penderitaan dan kesengsaraan bersama disebabkan oleh praktek kolonialisme,
bangkit dan menyatukan diri untuk mempertahankan hak milik nasional yang telah
dicapainya. Oleh karena itu, jiwa ini tidak memandang kelompok atau golongan.
Tidak memandang kaya atau miskin. Tidak memandang terpelajar atau bukan
terpelajar.
Patriotisme pejuang 45 bangkit dalam bentuk
jiwa kesetiakawanan sosial yang tinggi, disertai kerelaan untuk berkorban,
karena semuanya merasa senasip dan sepenanggungan. Ibaratnya, pernah merasakan
makan getuk sama-sama. Sehingga semuanya merasa sama dan ingin bersatu. Tidak
peduli apakah rakyat biasa, tentara, atau bangsawan. Tidak peduli kaya atau
miskin. Buta huruf atau melek huruf. Insinyur atau tukang. Cina, Arab keturunan
atau Jawa, Batak, Madura. Singkatnya, suatu jiwa kesetiakawanan sosial yang
tinggi, tulus ihlas dan rela berkorban demi tetap tegak dan utuhnya proklamasi
kemerdekaan.
Jiwa semacam itulah yang menghidupi rasa
kebangsaan atau nasionalisme pejuang 45, dan memberi arah serta tujuannya.
Sehingga nasionalisme pejuang 45 adalah nasionalisme yang berisi keinginan
untuk bebas dari penjajahan. Keinginan untuk merdeka dan mempertahankan
kemerdekaan itu. Keinginan untuk berdaulat, sehingga dapat mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara secara mandiri. Serta keinginan untuk bersatu, sehingga
dapat bersama-sama berjuang untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa
nilai-nilai kesetiakawanan sosial pejuang 45 - yang menjadi landasan tumbuhnya
kekuatan nasionalisme 45 - yang pokok dan terpenting ialah :
1.- Kuatnya perasaan keinsyafan tentang
Kesamaan Nasip.
2.- Kuatnya perasaan keinsyafan tentang
Kesamaan Tujuan.
Keinsyafan
tentang Kesamaan Nasip, dalam hal ini timbulnya kesadaran bahwa telah sama-sama
menderita akibat dari praktek-praktek kolonialisme. Timbulnya kesadaran di
seluruh lapisan masyarakat, bahwa mulai dari rakyat jelata sampai ke golongan
menengah, golongan terpelajar maupun bangsawan, semuanya tidak ada yang merasa
beruntung karena praktek kolonialisme. Dan keinsyafan tentang kesamaan nasip
inilah yang menyatukan seluruh lapisan masyarakat, untuk bersama-sama berjuang
mencapai cita-cita bangsa.
Keinsyafan
tentang Kesamaan Tujuan, dalam hal ini adalah timbulnya kesadaran tentang
perlunya membebaskan bangsa dari penjajahan, sehingga bisa menjadi bangsa yang
merdeka serta bebas untuk menentukan nasip sendiri. Dan keinsyafan tentang
kesamaan tujuan inilah yang mempersatukan seluruh cita-cita perjuangan, serta
mengatasi segala perbedaan pendapat, sehingga menjadi kekuatan nasional yang
hebat dan sanggup membebaskan bangsa dari penjajahan.
Keinsyafan tentang Kesamaan Nasip dan Tujuan
inilah sebenarnya yang menjadi faktor penentu bagi keberhasilan pejuang 45
dalam membebaskan bangsa dari penjajahan, serta keberhasilan dalam
mempertahankan tetap tegak dan utuhnya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dapat
dibayangkan, misalnya, bila keinsyafan tentang kesamaan nasip itu tidak
dibarengi dengan keinsyafan tentang kesamaan tujuan. Jelas, motivasi perjuangan
akan terpecah-pecah, dan pada gilirannya akan melemahkan perjuangan itu
sendiri. Demikian juga sebaliknya, bila tujuan sudah sama, namun rasa senasip
sepenanggungan tidak ada, jelas hal ini akan menimbulkan kurangnya rasa
kesetiakawanan, dan pada gilirannya akan menimbulkan perjuangan yang
setengah-setengah atau tidak mantap.
Beruntung dan bersyukurlah kita, bahwa pada
awal perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, keinsyafan tentang
kesamaan nasip dan tujuan itu sudah berhasil ditumbuhkan, sehingga berkembang
dan meningkat menjadi kesetiakawanan sosial yang tinggi. Dan nilai-nilai
kesetiakawanan sosial inilah yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kekuatan
nasionalisme 45. Akhirnya berhasil mengantarkan rakyat ke pintu gerbang
kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.
KESETIAKAWANAN
SOSIAL SEBAGAI KEKUATAN NASIONALISME INDONESIA.
Ernest Renan, dalam pidatonya pada tanggal 11
Maret 1882 di Universitas Sorbonne, Paris, berusaha menjawab pertanyaan : -
Apakah bangsa itu ? ( Qu'est ce qui' une nation' ? ).
Menurut Ernest Renan, bangsa adalah suatu jiwa
atau asas kerohanian. Dan jiwa atau asas kerohanian itu ditentukan oleh dua
unsur pokok, yaitu :
1.- Kemuliaan bersama di waktu lampau. Dari
aspek ini bangsa dapat disebutkan sebagai hasil dari sejarah.
2.- Kehendak untuk bersatu, yaitu suatu
keinginan untuk hidup bersama di waktu sekarang dan untuk masa yang akan
datang. Dari aspek ini bangsa dapat disebutkan sebagai suatu solidaritas atau
kesetiakawanan yang besar dari manusia untuk melangsungkan kehidupan bersama.
Bagi Ernest Renan, manusia bukanlah budak dari
keturunan atau rasnya, bahasanya, agamanya, maupun tempat tinggal atau tanah
airnya. Bangsa adalah suatu asas kerohanian, yaitu suatu kesadaran moral untuk
bersatu dan hidup bersama. Teori Kebangsaan Ernest Renan dapat dipandang
sebagai " teori perasaan atau kehendak ". Dan bertentangan dengan
" teori kebudayaan ", yang menyatakan bahwa suatu bangsa merupakan
perwujudan dari adanya persamaan kebudayaan, yakni persamaan bahasa, agama, dan
keturunan atau ras.
Otto Bauer, seorang tokoh partai Sosial
Demokrat Austria, pada tahun 1907 dalam menjawab pertanyaan yang sama,
menyatakan bahwa yang disebut suatu bangsa ialah suatu masyarakat ketertiban
yang muncul dari masyarakat yang senasip. Dengan kata lain, bangsa adalah suatu
kesamaan perangai / karakter yang timbul karena kesamaan nasip. Teori Otto
Bauer ini dapat dipandang sebagai " teori kesamaan nasip ".
Rudolf Kjellen, dalam bukunya Der Staat als
Lebensform, menyamakan jiwa bangsa dengan nafsu hidup dari mahluk. Suatu bangsa
mempunyai dorongan untuk hidup, mempertahankan diri, dan kehendak untuk
berkuasa. Kehendak untuk hidup itu adalah suatu keinginan untuk menjadi satu
rakyat yang bersaudara satu sama lain. Teori kebangsaan dari Rudolf Kjellen ini
hampir sama dengan teori Ernest Renan, yaitu adanya kehendak untuk bersatu.
Sedangkan Karl Haushofer, dalam bukunya
Geopolitik des Pazifisches Ozeans ( 1924 ) mengemukakan teori kebangsaan
berdasarkan " blut - und - boden ", atau teori " darah - dan -
tanah. " Teori ini merupakan bagian dari teori geopolitik yang menyatakan
adanya kesatuan antara manusia dengan tanah air sebagai tempat tinggalnya.
Teori kebangsaan Karl Haushofer ini sering disebut sebagai teori geopolitik.
Dan teori geopolitik ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kaum nasionalis
di Indonesia. Bung Karno, tokoh pergerakan nasional saat itu merupakan
pendukung teori geopolitik ini.
Dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di
depan sidang BPUPKI, Bung Karno menyatakan, bahwa menganut faham kebangsaan
berdasarkan teori Ernest Renan dan Otto Bauer saja tidak cukup. Renan dan Bauer
hanya melihat manusianya, hanya memikirkan perasaan, kehendak, dan karakter
dari manusianya. Mereka tidak melihat tanah air sebagai tempat tinggal
manusianya itu. Oleh karena itu menurut Bung Karno, faham kebangsaan Renan dan
Bauer itu harus dilengkapi dengan faham adanya kesatuan antara manusia dengan
tempat tinggalnya. Dengan demikian ada hubungan antara perasaan, kehendak, dan
karakter dari manusia dengan tanah air yang menjadi tempat tinggalnya.
Dari berbagai teori maupun faham kebangsaan
yang dikemukakan di atas, kita bisa
mengetahui adanya pokok-pokok pemikiran yang sama atau saling melengkapi. Dan khususnya teori Ernest Renan, Otto Bauer,
dan Rudolf Kjellen : kehendak untuk bersatu dalam solidaritas
besar, kesamaan nasip, dan keinginan menjadi rakyat yang bersaudara
satu sama lain, ini semua tidak lain
adalah unsur-unsur dari kesetiakawanan sosial yang didasari oleh adanya
keinsyafan tentang kesamaan nasip dan tujuan.
Demikian pula teori kesatuan antara manusia
dengan tempat tinggalnya, teori
persamaan kebudayaan, pada dasarnya
tercakup dan terkandung dalam keinsyafan tentang kesamaan nasip dan tujuan
sebagai unsur pokok dan terpenting dari suatu jiwa kesetiakawanan sosial.
Berdasarkan pemikiran itu kita bisa
menyatakan, bahwa pada dasarnya suatu
jiwa kesetiakawanan sosial adalah merupakan unsur pokok dari segala faham
tentang kebangsaan. Dengan kata
lain, suatu kesetiakawanan sosial yang
berdasarkan atas kesamaan nasip dan tujuan,
merupakan unsur pokok dari kekuatan semangat kebangsaan atau
nasionalisme.
Ide atau konsep tentang Kesetiakawanan Sosial
sebagai Unsur Pokok Kekuatan Nasionalisme ini nampak dengan jelas dalam
pandangan Panitia Lima tentang Bangsa.
Yang dimaksud dengan Panitia Lima adalah sebuah panitia yang disusun
atas anjuran pemerintah ( Presiden
Soeharto ), dengan maksud untuk
memberikan pengertian mengenai Pancasila sesuai alam pikiran dan semangat lahir
batin para penyusun UUD 1945. Panitia
Lima ini semula diharapkan dapat terdiri
dari mantan Panitia Sembilan yang menandatangani perumusan Rancangan
Pembukaan UUD 1945 yang disebut Piagam Jakarta. Tetapi berhubung pada saat dibentuknya
Panitia tersebut yang masih hidup
tinggal tiga orang : Dr.Mohammad Hatta, Prof.Mr. Ahmad Subardjo Djojodisurjo, dan Mr. Alex Andries Maramis, maka dilengkapi dengan Prof.Mr. Sunario dan
Prof.Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo ( mantan Sekretaris BPUPKI ),
sehingga menjadi lima orang.
Dalam buku " Uraian Pancasila " yang kemudian
diterbitkan ( Panitia Lima,
Penerbit Mutiara, Jakarta, 1977 ) panitia ini menyimpulkan bahwa Bangsa
adalah :
"
................ditentukan oleh Keinsyafan sebagai suatu persekutuan
yang tersusun menjadi satu, yaitu
Keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasip dan tujuan. Keinsyafan itu bertambah besar oleh karena
sama seperuntungan, malang sama
diserita, mujur yang sama didapat, oleh
karena jasa bersama, kesengsaraan
bersama, pendeknya oleh karena
peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam di dalam hati dan otak. "
Bila diperhatikan, pengertian yang terkandung dalam kriterium di
atas tidak lain adalah suatu ide atau konsep tentang Kesetiakawanan
Sosial. Dan menurut Panitia Lima, kriterium seperti itulah yang diperlukan
untuk mempertahankan dan meningkatkan persatuan bangsa, guna mencapai tujuan hidup bangsa Indonesia.
KESETIAKAWANAN
SOSIAL SEBAGAI KEKUATAN
NASIONALISME
BARU INDONESIA
Nasionalisme
adalah suatu proses sejarah. Sebagai
proses sejarah, nasionalisme tidak
pernah berhenti. Nasionalisme tidak
berhenti dengan tercapainya kemerdekaan.
Tidak berhenti dengan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Juga tidak berhenti dengan lahirnya Orde
Baru. Nasionalisme terus
bergerak, tumbuh, dan akan terus berkembang sesuai dengan gerak
perkembangan masyarakat.
Namun harus
diingat, bahwa perkembangan nasionalisme
itu bukanlah perkembangan yang akan terjadi dengan sendirinya. Bukan perkembangan yang dibiarkan tanpa arah
maupun tujuan yang jelas. Bila
nasionalisme dibiarkan berkembang tanpa arah,
tanpa dibina dan dikendalikan,
bisa terjadi nasionalisme tersebut berkembang secara liar, sehingga dapat menjadi semacam penyakit
kanker bagi kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu
jiwa dan semangat nasionalisme harus selalu dibina, dikembangkan,
serta diarahkan terus-menerus,
menuju ke arah perwujudan dari kekuatan-kekuatan nasionalisme yang
diperlukan untuk pembangunan bangsa.
OLEH :
BIRO PERS GMNI BOJONEGORO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar